Minggu, 29 Agustus 2010

Van Leur: Indonesian Trade and Society

Ketika empat kapal Belanda pertama kali berlabuh di Bantam (Banten) pada tahun 1595, telah ada sebuah pemukiman dan pasar yang padat yang menunjukkan sebuah aktivitas ekonomi masyarakat asli. Masyarakat asli telah melakukan perdagangan dengan para pedagang dari luar daerah, misalnya Turki. Indonesia menjadi sebuah wilayah yang dipandang sebagai jalur perdagangan yang amat penting dan menghubungkan wilayah “Timur Jauh” dengan kota-kota di Mediterania.

Jalur ini sudah dikenal berabad-abad yang lalu. Dalam sejarah Asia, Indonesia adalah jalur vital penghubung India dengan Cina dan titik nadi penyebaran agama islam dari barat ke timur. Ini menyebabkan masuknya Budha dan Hindu dalam kebudayaan awal Indonesia. Jalur perdagangan ini juga telah diceritakan dalam relief candi Borobudur, bahkan dalam cerita “Seribu Satu Malam” di Timur Tengah.

Karena begitu pentingnya Indonesia dalam dunia perdagangan, berdampak datangnya beberapa kaum pendatang yang ingin menguasai, misalnya orang-orang Eropa. Kolonialisme yang dibawa orang Eropa menghasilkan industrialisasi dibawah kapitalisme modern. Tanah-tanah dijadikan sebagai penghasil produk-produk bagi industri besar, untuk memasok bahan-bahan mentah dan produk-produk perkebunan atau pun untuk pertambangan kolonial. Intinya adalah bahwa bangsa-bangsa Eropa telah membawa modernisme di Indonesia.

Kedatangan Orang-orang Eropa di Indonesia (±1509-1620)

Kedatangan bangsa Eropa bukanlah sebagai factor yang paling menentukan dalam sejarah Indonesia. Saat Indonesia mulai dikenal di Eropa lewat pelayarannya, kondisi negara-negara Eropa tidak sepenuhnya maju. Saat itu, islam berpengaruh besar karena orang-orang Turki Ottoman berhasil menduduki Konstantinopel. Memang, faktor perkembangan teknologi bangsa Eropa lah yang telah mengantarkan mereka masuk ke wilayah nusantara untuk pertama kalinya.

Orang Portugis menjadi pelaut ulung dengan ilmu astronomi dan geografis yang tinggi yang diserap dari orang-orang muslim. Keinginan bangsa Portugis untuk mencari emas dan rempah-rempah sangat tinggi hingga akhirnya berhasil menguasai pelabuhan penting di Asia yaitu pelabuhan Malaka.
Malaka sebagai wilayah yang begitu pentingnya dalam jalur perdagangan tidak berhasil dikembangkan karena banyak alasan yang menyertainya, contohnya ketidakjujuran dalam pengelolaaan keuangan dalam pemerintahannya di Malaka. Selain itu, faktor kebudayaan yang asing bagi orang-orang Asia juga menjadi penghambat.

Berbeda dari Malaka, kebudayaan Portugis sangat diterima dengan baik di wilayah Maluku. Disana telah terjadi sebuah peperangan antara dua kerajaan lokal, yaitu Ternate dan Tidore. Campur tangan Portugis dalam masalah ini sangat besar. Ternate memilih bersekutu dengan Portugis, sedangkan Tidore lebih memilih berpihak pada Spanyol walaupun pada akhirnya berakhir dengan kemenangan Portugis.
Kebudayaan-kebudayaan Portugis yang berbau Kristen mulai disusupkan ke dalam lapisan masyarakat Maluku. Orang-orang pemeluk islam yang lebih dulu masuk menolak keras kedatangan orang-orang Kristen ini sehingga menimbulkan banyak perlawanan. Tetapi dalam waktu berikutnya, berkat seorang Spanyol Francis Xavier, orang Maluku banyak menganut agama Katolik sedangkan Kristen berhasil disebarkan ke penduduk lokal terutama di daerah Solor. Mereka meninggalkan sedikit ciri-ciri kebudayaan yang Portuis dalam masyarakat wilayah timur Indonesia walaupun bangsa Eropa tersebut telah meninggalkan Maluku. Contohnya adalah lagu-lagu balada keroncong, nama marga keluarga (seperti Gonsales, Mendoza, Rodrigues, da Silva, Dias), dan sebagian bahasa yang diserap misalnya kata-kata pesta, sabun, sepatu, bendera, Minggu, dan lain-lainnya.
Dua poin penting dalam masa bangsa Portugis bercokol di nusantara, yaitu kacaunya perdagangan sebagai akibat ditaklukkannya Malaka dan penyebaran agama Katolik di bagian wilayah timur nusantara.

Belanda lalu datang menyusul ke nusantara karena mendengar suatu wilayah yang banyak menghasilkan rempah-rempah dari tulisan-tulisan orang Portugis yang lebih dahulu datang ke nusantara. Hasrat menguasai wilayah rempah-rempah sangat besar sehingga pemerintah Belanda mendirikan tempat menetap di Jawa. Inilah yang nantinya segala aspek barat yang dibawa oleh Belanda meresap dalam kebudayan-kebudayaan lokal, sekaligus segala bentuk penindasan terhadap hampir di seluruh wilayah nusantara dengan jangka waktu yang panjang.

sumber: M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern (1200-2004)

Jumat, 27 Agustus 2010

Indonesian Historiography

Since colonialism regulated the major indigenous people custom, Dutch government brought about some impacts to assimilate Westernization went right through local customs. Since first Dutch merchants arrival on Banten 1596 led by De Houtman, main prior was aimed for commerce. Yet, local people felt it was a menace that threatened their life. Then, they assaulted and withdrew but got home back with full spices shipload. The Dutch King in Holland caught a whisper a land promising spices and peppers, so that fourteen expeditions were sent off throughout world. Finally, they discovered Indonesia and determined to settle down. By that, local system was to be dominated of the colonial authority and modernization more frequently came to be.

Indonesian historiography is written by using colonial insight. Occasions related to colonial activities would be written on, anything beyond of unbenefited activities to government would be skipped out, using their perspective. Small things, for instance the peasant movements were rarely loomed by colonial historians. General depiction emphasized only on nobilities and surroundings. Local inhabitants were regarded as the suffered objects, the blamed people. This is what academic historians have to deal with. Colonial historiography was likely to be replaced on right position, no more becoming one single perspective. We are to turn over the colonial perspective to get into Indonesian perspective. So, it’s time to Indonesian themselves formulate their own history, without colonial intervention anymore.

Actually, national consciousness had been thought, before the Seminar Sejarah I on 1957, twelve years after Indonesian can breathe an independent breeze freely. We can find it out in “Sedjarah Peperangan Dipanagara: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia”, book by Muhammad Yamin, “TNI I” by A.H. Nasution, and “Sedjarah Perdjuangan Indonesia” by M. Dimdjati. The Seminar then produced a nationalism perspective that should be attached on every educational book for scholars. According to academic historians, youths need a stimulating history to impart nationalism. Sartono Kartodirdjo revealed Indonesian National History is not the only cause to be seen. Born of Indonesian history deprived from many interconnected events, one caused another. He called this “the integration” concept. Indonesia as the result from many influences, not enough could be looked up “from within” but also “from outward”. He again stressed and paid much attention on history themes in preceding times were only about politic domination. As though, historians had serious amnesia to write down outskirt of political instruments. Becoming a history that attempts to move out from colonial perspective is now required. This is what then called “the decolonization of Indonesian historiography” when indigenous people become the active role.

History does not belong to mere politic. The other essential background is through social approach. Politic just mainly sketches about “the great man”. We need for other aspects to show how local society gives donation to history process. Getting closer to ordinary people, social approach is deemed the fittest aspect to take up. Social approach more recommended due to reflecting genuine daily life of human being.

Ciri-ciri Historiografi Tradisional dalam Serat Makutha Raja

Akhir-akhir ini, berbagai penulisan sejarah mulai menjamur. Berbagai penulis akademik maupun amatir berlomba-lomba menunjukkan pemikiran-pemikiran kritisnya kepada pemerintah di atas kertas, mungkin karena kebebasan berpikir dan berpendapat di negeri ini telah disadari. Sepertinya, demokrasi memang memberikan ruang gerak bebas bagi siapapun juga, khususnya penulis, untuk menulis sesuatu, entah dipandang mendidik atau tidak.

Sejarah dari penulisan sejarah atau yang disebut sebagai historiografi, menjelaskan perkembangan pola-pola penulisan sejarah dari zaman ke zaman atau historiografi, menemukan berbagai persoalannya sendiri, diantaranya, penulisan yang indonesiasentris masih sangat jauh dari keinginan. Pada zamannya, perspektif kolonial lah yang dipandang sebagai kiblat historiografi. Tetapi, titik awal historiografi yang indonesiasentris tiba-tiba saja muncul dalam Seminar Sejarah I di Yogyakarta oleh Moh. Yamin. Sampai sekarang pun, beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat indonesiasentris. Indonesia ditempatkan di atas segalanya.

Historiografi menurut Sartono Kartodirdjo dan Taufik Abdullah adalah tentang usaha merekonstruksi masa lalu. Dalam usaha merekonstruksi tersebut, penulis sejarah harus memusnahkan unsur-unsur subyektifitas seminimal mungkin, walaupun subjektifitas itu sendiri tidak akan pernah bisa dielakkan dari penulisan sejarah di manapun, dan kapanpun.

Historiografi dibagi menjadi dua, Historiografi tradisi dan historiografi kritis, adalah dua istilah yang paling tepat digunakan menurut Prof. Dr. Bambang Purwanto. Kedua istilah itu dipilih bukan karena sebab apapun. Istilah “tradisi” dan “kritis” memang sengaja dipakai dengan tujuan mengikis ”perbandingan-perbandingan tak sadar”. Ini sangat berbeda dari istilah yang telah lebih dulu dibangun oleh Sartono Kartodirdjo, yaitu membagi historiografi menjadi historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. Jika ditilik lebih dalam, “tradisional” lebih pada sebuah perspektif rendahan yang terbelakang dan kampungan daripada istilah “kolonial” dan “modern” yang terlihat elit dan lebih maju. Dengan istilah “tradisi” dan “kritis”, diharapkan pembaca tidak akan terjebak ke dalam masalah kuno, “itu yang lebih baik.” Tetapi, penggunaan istilah itu dikembalikan lagi kepada subyektifitas pembaca.

Disini, saya akan lebih menekankan pemahaman pada historiografi tradisi. Begitu kompleksnya kebudayaan di Indonesia, membuat banyaknya sejarah-sejarah lokal yang belum terjamah dan menjadi perhatian para sejarawan muda. Mungkin faktor “tradisional” di atas masih mengikuti mereka.

Hasil-hasil historiografi tradisi diantaranya hikayat, serat, dan babad merupakan hasil cerminan budaya masyarakat waktu itu yang ditulis oleh pegawai-pegawai istana yang terpilih atau pujangga kerajaan, salah satunya adalah Serat Makutha Raja yang ditulis oleh Pangeran Buminata dari Yogyakarta tahun 1937 Masehi yang saya gunakan sebagai contoh historiografi tradisi.


Penulisan sejarah oleh para sejarawan harus dilakukan dan memang diperlukan agar masa lalu itu sendiri dapat menjadi sebuah sejarah karena “penulisan adalah puncak dari usaha pengerjaan sejarah”. Pada mulanya, penulisan sejarah lebih merupakan ekspresi kultural daripada usaha merekam hari lampau. Seseorang menulis sejarah adalah untuk berusaha mendokumentasikan masa lalu. Seringkali, menulis sejarah itu terbatas pada waktu, tempat, dan fakta. Mengabaikan itu berarti sama saja mengingkari ciri khas dari sejarah. Jika ke-khas-an itu diingkari, tentu saja tidak akan mampu memurnikan sejarah, walaupun memang tidak mungkin, tetapi paling tidak mendekati kata “obyektif”, walau sekali lagi, “obyektif” itu hanyalah sebuah mimpi dalam kesadaran.

Seperti yang dikemukakan Prof. Bambang Purwanto dalam perkuliahan, historiografi itu merefleksikan ide-ide yang menghasilkan intelektual dan pemikiran-pemikiran yang menghasilkan kebudayaan. Dalam historiografi kritis, intelektual lebih dominan dibicarakan, sedangkan dalam historiografi tradisi, corak kebudayaan lebih mencolok, tetapi intelektual tetap ada.

Dalam setiap karya historiografi tradisi, seperti babad, serat, hikayat dan lainnya, penggambaran masyarakat lokal sangat jelas terpancar dalam balutan lingkungan kerajaan. Dalam Serat Makutha Raja misalnya, gambaran kehidupan istana Mataram sangat terasa dari awal cerita hingga akhir cerita ini diakhiri.

Penghadiran sosok seorang raja dipandang sebagai sebuah keharusan. Raja adalah segala-galanya. Dia yang paling benar, yang paling bijak, dan maha sakti. Dalam serat ini, disinggung juga tentang bagaimana menjadi seorang patih, tumenggung, dan demang yang baik. Ini sangat kontras dengan entitas masyarakat bawah yang kurang diceritakan dan seakan-akan lenyap ditelan keagungan-keagungan penguasa. Bukankah, tanpa adanya “orang-orang bawah” itu, mungkin “orang-orang besar” itu tidak ada?
Eksistensi raja sebagai penghubung mikrokosmos dan makrokosmos dimanfaatkan untuk mengagungkan dan melegitimasi dirinya sendiri. Ini ditemukan hampir dalam setiap kasus historiografi tradisi. Prof. Dr. Sartono mengatakan,
“Dalam penulisan sejarah tradisional, seperti dalam hikayat, kronik, atau babad, nyatalah sekali bahwa penulisan itu bertujuan membuat pembenaran dari kedudukan yang sedang berkuasa atau melegitimasikan eksistensinya.”

Lalu, adakah fakta yang bisa kita percayai? Sebenarnya ada. Sartono Kartodirdjo mengatakan, fakta-fakta itu disajikan dalam bentuk mitos-mitos. Mitos sendiri menurut C.C. Berg adalah,
“Bentuk linguistik majemuk yang memasyarakat sebagaimana dipertentangkan dengan bentuk-bentuk linguistik sederhana yang memasyarakat di satu pihak, dan dengan bentuk linguistik majemuk yang tidak memasyarakat di lain pihak.”

Menurut Berg, mitos berasal dari bahasa-bahasa majemuk yang telah “memasyarakat”. Tetapi kemudian P. Swantoro menegaskan bahwa “memasyarakat” yang dimaksud adalah berada pada daerah tertentu dalam kelompok masyarakat tertentu. Sebagai contoh adalah kisah Kanjeng Ratu Kidul di Laut Selatan Jawa. Mitos tersebut tidak dikenal pada masyarakat pesisir pantai utara Jawa atau masyarakat di luar pulau Jawa. Ini menunjukkan bahwa mitos berada terpendam dalam alam pikiran masyarakat tertentu di daerah tertentu.

Mitos memang diciptakan oleh pujangga untuk mempengaruhi jalannya suatu peristiwa. Peristiwa menceritakan sebuah tindakan manusia dan tindakan manusia menyiratkan bahasa. Jika seorang pujangga menciptakan “bahasa-bahasa gaib” sesuai yang diinginkannya dan disebarkan ke masyarakat, maka tujuannya adalah bisa “memasyarakat”. Jika telah “memasyarakat”, maka tujuan awal, yaitu legitimasi raja, bisa dengan mudah dilakukan. Mitos-mitos yang sering ditemui dalam historiografi tradisi memang kadang tak masuk akal, khayal, dan aneh. Tapi, justru mitologisasi itulah yang akan memperkuat proses legitimasi karena mitos-mitos menambah sifat supernatural dan sanksi-sanksi yang sakral. Dalam serat ini, hal-hal yang berbau gaib juga tak luput, contohnya saat Pangeran Mangkubumi mampu berkomunikasi dengan arwah leluhur dan mengalahkan roh-roh sawah yang jahat.

Fakta-fakta yang lainnya dalam serat ini ditunjukkan dengan genealogi raja-raja Mataram. Kenaikan takhta hingga kematian raja-raja yang pernah memerintah Mataram diuraikan dengan sangat jelas dan runtut, lengkap dengan kerangka tahunnya yang mungkin dalam karya historiografi tradisi yang lain, kerangka tahun tidak ditemukan.

Konflik dalam Serat Makutha Raja timbul dari dalam istana antara para ulama kerajaan. Kiai Cabolek dituduh telah merusak hukum agama dan durhaka terhadap raja. “Agama” yang dimaksud adalah agama islam. “Agama” sangat dijunjung tinggi, bahkan raja pun berpedoman pada ajaran-ajaran islam walaupun dia berkuasa sepenuhnya dalam kerajaan. Sepertinya islamisasi telah berhasil “memasyarakat”.

Banyak sekali nasihat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Pesan-pesan itu tersirat sangat jelas saat membaca pada halaman awal. Salah satu pesannya adalah tentang bagaimana cara mengendalikan rakyat agar menjadi seorang raja yang dihormati. Cara-cara itu diibaratkan dengan “belajar naik kuda.” “Kuda” sebagai “masyarakat” dan “tali kekang” kuda sebagai alat pengendali “kuda” itu sendiri. Di sini, seorang raja harus menggunakan cara-cara yang halus dan manis dalam memegang “tali kekang.” Selanjutnya, “penunggang kuda”, yang dimaksudkan adalah “raja”, harus menunggang kuda dengan sikap hati-hati dan waspada. Jika “kuda” memberontak, “sang penunggang” harus menuruti tingkah “kuda” sambil membawanya dan menuntunnya ke jalan yang lebar. Maka secara tidak langsung, “kuda” tunduk dan terkena wibawa “sang penunggang kuda”. Cara ini disebut anyana mandra oleh Pangeran Mangkubumi.


Begitu banyak karya historiografi tradisi di Indonesia. Babad, hikayat, serat, tambo, dan lain-lain merupakan produk lokal yang tak ternilai harganya. Dalam memahami karya-karya tersebut, kita sering kesulitan dalam menemukan ciri-cirinya. Biasanya, asal-usul suatu daerah menjadi tema yang diangkat dalam penulisan sejarah tradisi. Penggambaran yang dilakukan erat kaitannya dengan mitos-mitos yang dibangun para pujangga. Walau kadang alur dan kronologi cerita tidak sistematis, kita bisa mendapatkan fakta-fakta dalam genealogi-genealogi yang diceritakan. Kehidupan dalam istana kerajaan juga sangat menonjol. Belum lagi, pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang berbau agama juga sering dimunculkan dalam setiap karya historiografi tradisi. Jika kita telah bisa memahami ciri-ciri tersebut dengan baik, maka dapat digunakan sebagai penunjang dalam penulisan sejarah kritis.


C.C Berg, “Gambaran Jawa Pada Masa Lalu” dalam Soedjatmoko et al. (eds), Historiografi Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995.
P. Swantoro, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, “Babad: Kitab Dongeng?”, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG, 2002.
Sartono Kartodirdjo, “Pengantar” dalam Anthony Reid dan David Marr (eds), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti: 1983.
Taufik Abdullah, Pendahuluan: Sejarah dan Historiografi dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo (eds).

LUBANG BUAYA: Dalam Perspektif Komunis, Orde Baru atau Multidimensional

Jika saya dihadapkan pada situasi yang dilematis ini, yang memang mengharuskan saya harus memilih, maka saya akan memilih sebagai seorang sejarawan yang multidimensional. Saya tidak ingin berpihak pada siapa pun juga, walaupun sejarah itu memihak, dan netral itu menurut saya tidak sepenuhnya ada.

Lubang Buaya, bagi orang yang tahu, mungkin adalah sebuah tempat yang terdengar mengerikan. Sejak peristiwa 1 Oktober 1965 itu, sudah bisa dipastikan image PKI akan lebih buruk di mata seluruh bangsa Indonesia sehingga akan muncul perasaan kebencian yang sangat mendalam terhadap PKI.

Komunis harus dihapuskan dari panggung sejarah Indonesia. Komunis adalah bahaya laten yang harus diwaspadai negara. Indonesia akan semakin damai dan tenteram tanpa adanya eksistensi komunis. Setidaknya itu adalah tujuan utama Orde baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun.

Lubang Buaya ditampilkan pemerintahan Orde Baru sebagai sebuah gambaran supaya orang-orang memiliki sebuah memori yang mendalam tentang keganasan PKI. Soeharto seakan-akan menjadi seorang pahlawan yang menumpas coup d’etat PKI dalam fotonya yang terpampang jelas di samping Lubang Buaya dengan kacamata hitamnya dalam buku-buku sekolah yang wajib dibaca oleh murid-murid sekolah. Anak-anak sekolah di brain wash dengan harapan mereka mengucap banyak terima kasih kepada Soeharto yang telah menumpas partai paling kejam di dunia, yang tak lain adalah PKI.

Dalam perspektif Orde Baru, komunis berada pada posisi yang paling disalahkan sehingga anggota rezim Orde baru harus memutar otak untuk menghapuskan segala yang berbau Marxis. Dengan diangkatnya Nugroho Notosusanto sebagai kepala museum Pusat, posisi komunis semakin tersingkir, dan heroisme Orde Baru ditempatkan pada posisi puncak. Dalam sebuah buku yang ditulis Nugroho Notosusanto bersama Oejeng Soewargana, “Rencana Pelajaran Terurai tentang Komunisme,” pemujaan kepada rezim Orde Baru sangat jelas terlihat. Bahkan, usaha penulis dalam mempengaruhi pembaca tentang betapa berbahayanya komunis bagi Indonesia, bisa langsung dibaca dalam sampulnya yang berbunyi:

“Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan Nasional dalam menghadapi taktik-strategi komunis di dalam maupun di luar negeri, guna pengamanan Pancasila, sesuai dengan ketetapan MPRS Sidang Umum ke-IV tahun 1966”

Dari kata-kata tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa komunis adalah suatu ancaman serius bagi Indonesia. Jika ditilik ke dalam halaman-halaman di dalamnya, maka akan sering ditemukan sosok Soeharto sebagai seorang penyelamat terhadap bahaya dan ancaman komunis.

Dari sisi komunis, mungkin dia adalah pihak yang paling dirugikan. Tokoh-tokoh komunis seperti Sneevliet, Untung, Aidit, Tan Malaka, Haji Misbach, atau yang lainnya, seandainya masih hidup, mungkin mereka akan merasa sangat jengkel dan marah dengan gambaran tentang kebutralan dan konsep atheisme komunis yang ditulis Nugroho Notosusanto, yang kata Katherine McGregor disebut sebagai “sejarawan yang mengabdi” terhadap rezim Orde Baru.

Kembali ke masalah Lubang Buaya, tidak jauh dari Lubang Buaya tersebut, oleh pemerintah Orde baru dibangun sebuah monumen Pancasila Sakti untuk mengenang para Jenderal yang telah gugur dalam peristiwa 1 Oktober, yang menurut saya malah mengingatkan seseorang kepada PKI, Lubang Buaya, dan militer. Saya tidak ingin bicara lebih banyak lagi karena saya memang tidak tahu pasti sebab-musababnya dan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam menyikapi masalah peristiwa 30 September dan Lubang Buaya yang masih kontroversial tersebut, saya hanya bisa memandang dari berbagai perspektif dan bukan ingin memihak kepada siapa pun. Alasan ini diambil berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang saya miliki dan buku-buku yang telah saya baca yang menempatkan saya memilih menjadi sejarawan multidimensional, entah ini yang benar-benar disebut multidimensional atau tidak.

“Uplifting National Defense in Globalization"

A nation is a great power if involving the young generation, including us. Each country has got to interact intercourses and interlocks each other regarding to maintain its society existence. Above all, self adaptation is a necessity to predominate with complex problems, particularly for uplifting national defense. Adaptive-progressive feature is regarded a solid unity blended at once. It is what I want to explain about.

In long preceding time, human hunted venison to survive in wild life surrounding, against wild natural change. But we are so far away and no more lived in that wild world. Time was changed. We are now residing on a sophisticated land, above a certain country. Of what many people called as “globalization”, has widespread throughout world. Everything tends to convert in its flexible way and unpredictable occasions.

According to my opinion, globalization is a process to lay down world under one roof with distance and geography unbounded. It enables a connection between two countries or peoples more, could be grasped briefly. However, inevitably globalization has deployed raising a ground change in politic, economy, and social aspects. In economy, it’s caused black market and franchise. Internet and robot are some the technology product. Other, it brings about so many alien customs seeping freely. If we keep it going, possibly the ancestry’s tradition up to vanish. Tragically, countries let it lose its national identity that means national defense too. If we let this unbridled globalization keep coming in and out without a restriction, not advancement would be on hand, but a declining is about left behind.

Global rivalry led to the so-called “wild rule” again prevailing, the fittest stands still. We are as part of social life could not stand by our single foot, because human as a homo homini socius or human is social being, must withstand upon every social changing wave to be an adaptive generation who interacts another. So, we must be used to act adaptive that capable to accustom with each forthcoming change. Adaptive stance might regard as a strategy to tackle self quality. If we have it, we no more feel bother stared at good or bad impact because has been a strong self quality person to knock out the “wild rule”. Outside adaptive, we need a progressive, or think forward, is also demanded to vision more advance society in the future. Hence, national defense has to use adaptive-progressive young generation to cope with contemporary issues.

21st century world needs a conversion gaining advancement. Actually, it’s through a short or long term processing. This process is to bear whether it will be successful or unsuccessful, but somehow Indonesia has done successful progress. Our government gave evidences that Indonesia owns adaptive-progressive people. As result, she has a powerful defense from global economic crisis and being an active role in preserving green living as well as enhances educational qualities because illiteracy is getting more dwindle. Though, Indonesia still needs a better struggle than this now.

Conversion is eternal. So, we shall be ready grappling the stream change that tends going on ahead. Don’t be a stagnant and just halt on one point rejecting globalization, whereas it always keeps moving forward pointless. In the manner of adaptive-progressive generation, we are upgrading ourselves and our outstanding national defense as well.