Jumat, 27 Agustus 2010

Ciri-ciri Historiografi Tradisional dalam Serat Makutha Raja

Akhir-akhir ini, berbagai penulisan sejarah mulai menjamur. Berbagai penulis akademik maupun amatir berlomba-lomba menunjukkan pemikiran-pemikiran kritisnya kepada pemerintah di atas kertas, mungkin karena kebebasan berpikir dan berpendapat di negeri ini telah disadari. Sepertinya, demokrasi memang memberikan ruang gerak bebas bagi siapapun juga, khususnya penulis, untuk menulis sesuatu, entah dipandang mendidik atau tidak.

Sejarah dari penulisan sejarah atau yang disebut sebagai historiografi, menjelaskan perkembangan pola-pola penulisan sejarah dari zaman ke zaman atau historiografi, menemukan berbagai persoalannya sendiri, diantaranya, penulisan yang indonesiasentris masih sangat jauh dari keinginan. Pada zamannya, perspektif kolonial lah yang dipandang sebagai kiblat historiografi. Tetapi, titik awal historiografi yang indonesiasentris tiba-tiba saja muncul dalam Seminar Sejarah I di Yogyakarta oleh Moh. Yamin. Sampai sekarang pun, beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat indonesiasentris. Indonesia ditempatkan di atas segalanya.

Historiografi menurut Sartono Kartodirdjo dan Taufik Abdullah adalah tentang usaha merekonstruksi masa lalu. Dalam usaha merekonstruksi tersebut, penulis sejarah harus memusnahkan unsur-unsur subyektifitas seminimal mungkin, walaupun subjektifitas itu sendiri tidak akan pernah bisa dielakkan dari penulisan sejarah di manapun, dan kapanpun.

Historiografi dibagi menjadi dua, Historiografi tradisi dan historiografi kritis, adalah dua istilah yang paling tepat digunakan menurut Prof. Dr. Bambang Purwanto. Kedua istilah itu dipilih bukan karena sebab apapun. Istilah “tradisi” dan “kritis” memang sengaja dipakai dengan tujuan mengikis ”perbandingan-perbandingan tak sadar”. Ini sangat berbeda dari istilah yang telah lebih dulu dibangun oleh Sartono Kartodirdjo, yaitu membagi historiografi menjadi historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern. Jika ditilik lebih dalam, “tradisional” lebih pada sebuah perspektif rendahan yang terbelakang dan kampungan daripada istilah “kolonial” dan “modern” yang terlihat elit dan lebih maju. Dengan istilah “tradisi” dan “kritis”, diharapkan pembaca tidak akan terjebak ke dalam masalah kuno, “itu yang lebih baik.” Tetapi, penggunaan istilah itu dikembalikan lagi kepada subyektifitas pembaca.

Disini, saya akan lebih menekankan pemahaman pada historiografi tradisi. Begitu kompleksnya kebudayaan di Indonesia, membuat banyaknya sejarah-sejarah lokal yang belum terjamah dan menjadi perhatian para sejarawan muda. Mungkin faktor “tradisional” di atas masih mengikuti mereka.

Hasil-hasil historiografi tradisi diantaranya hikayat, serat, dan babad merupakan hasil cerminan budaya masyarakat waktu itu yang ditulis oleh pegawai-pegawai istana yang terpilih atau pujangga kerajaan, salah satunya adalah Serat Makutha Raja yang ditulis oleh Pangeran Buminata dari Yogyakarta tahun 1937 Masehi yang saya gunakan sebagai contoh historiografi tradisi.


Penulisan sejarah oleh para sejarawan harus dilakukan dan memang diperlukan agar masa lalu itu sendiri dapat menjadi sebuah sejarah karena “penulisan adalah puncak dari usaha pengerjaan sejarah”. Pada mulanya, penulisan sejarah lebih merupakan ekspresi kultural daripada usaha merekam hari lampau. Seseorang menulis sejarah adalah untuk berusaha mendokumentasikan masa lalu. Seringkali, menulis sejarah itu terbatas pada waktu, tempat, dan fakta. Mengabaikan itu berarti sama saja mengingkari ciri khas dari sejarah. Jika ke-khas-an itu diingkari, tentu saja tidak akan mampu memurnikan sejarah, walaupun memang tidak mungkin, tetapi paling tidak mendekati kata “obyektif”, walau sekali lagi, “obyektif” itu hanyalah sebuah mimpi dalam kesadaran.

Seperti yang dikemukakan Prof. Bambang Purwanto dalam perkuliahan, historiografi itu merefleksikan ide-ide yang menghasilkan intelektual dan pemikiran-pemikiran yang menghasilkan kebudayaan. Dalam historiografi kritis, intelektual lebih dominan dibicarakan, sedangkan dalam historiografi tradisi, corak kebudayaan lebih mencolok, tetapi intelektual tetap ada.

Dalam setiap karya historiografi tradisi, seperti babad, serat, hikayat dan lainnya, penggambaran masyarakat lokal sangat jelas terpancar dalam balutan lingkungan kerajaan. Dalam Serat Makutha Raja misalnya, gambaran kehidupan istana Mataram sangat terasa dari awal cerita hingga akhir cerita ini diakhiri.

Penghadiran sosok seorang raja dipandang sebagai sebuah keharusan. Raja adalah segala-galanya. Dia yang paling benar, yang paling bijak, dan maha sakti. Dalam serat ini, disinggung juga tentang bagaimana menjadi seorang patih, tumenggung, dan demang yang baik. Ini sangat kontras dengan entitas masyarakat bawah yang kurang diceritakan dan seakan-akan lenyap ditelan keagungan-keagungan penguasa. Bukankah, tanpa adanya “orang-orang bawah” itu, mungkin “orang-orang besar” itu tidak ada?
Eksistensi raja sebagai penghubung mikrokosmos dan makrokosmos dimanfaatkan untuk mengagungkan dan melegitimasi dirinya sendiri. Ini ditemukan hampir dalam setiap kasus historiografi tradisi. Prof. Dr. Sartono mengatakan,
“Dalam penulisan sejarah tradisional, seperti dalam hikayat, kronik, atau babad, nyatalah sekali bahwa penulisan itu bertujuan membuat pembenaran dari kedudukan yang sedang berkuasa atau melegitimasikan eksistensinya.”

Lalu, adakah fakta yang bisa kita percayai? Sebenarnya ada. Sartono Kartodirdjo mengatakan, fakta-fakta itu disajikan dalam bentuk mitos-mitos. Mitos sendiri menurut C.C. Berg adalah,
“Bentuk linguistik majemuk yang memasyarakat sebagaimana dipertentangkan dengan bentuk-bentuk linguistik sederhana yang memasyarakat di satu pihak, dan dengan bentuk linguistik majemuk yang tidak memasyarakat di lain pihak.”

Menurut Berg, mitos berasal dari bahasa-bahasa majemuk yang telah “memasyarakat”. Tetapi kemudian P. Swantoro menegaskan bahwa “memasyarakat” yang dimaksud adalah berada pada daerah tertentu dalam kelompok masyarakat tertentu. Sebagai contoh adalah kisah Kanjeng Ratu Kidul di Laut Selatan Jawa. Mitos tersebut tidak dikenal pada masyarakat pesisir pantai utara Jawa atau masyarakat di luar pulau Jawa. Ini menunjukkan bahwa mitos berada terpendam dalam alam pikiran masyarakat tertentu di daerah tertentu.

Mitos memang diciptakan oleh pujangga untuk mempengaruhi jalannya suatu peristiwa. Peristiwa menceritakan sebuah tindakan manusia dan tindakan manusia menyiratkan bahasa. Jika seorang pujangga menciptakan “bahasa-bahasa gaib” sesuai yang diinginkannya dan disebarkan ke masyarakat, maka tujuannya adalah bisa “memasyarakat”. Jika telah “memasyarakat”, maka tujuan awal, yaitu legitimasi raja, bisa dengan mudah dilakukan. Mitos-mitos yang sering ditemui dalam historiografi tradisi memang kadang tak masuk akal, khayal, dan aneh. Tapi, justru mitologisasi itulah yang akan memperkuat proses legitimasi karena mitos-mitos menambah sifat supernatural dan sanksi-sanksi yang sakral. Dalam serat ini, hal-hal yang berbau gaib juga tak luput, contohnya saat Pangeran Mangkubumi mampu berkomunikasi dengan arwah leluhur dan mengalahkan roh-roh sawah yang jahat.

Fakta-fakta yang lainnya dalam serat ini ditunjukkan dengan genealogi raja-raja Mataram. Kenaikan takhta hingga kematian raja-raja yang pernah memerintah Mataram diuraikan dengan sangat jelas dan runtut, lengkap dengan kerangka tahunnya yang mungkin dalam karya historiografi tradisi yang lain, kerangka tahun tidak ditemukan.

Konflik dalam Serat Makutha Raja timbul dari dalam istana antara para ulama kerajaan. Kiai Cabolek dituduh telah merusak hukum agama dan durhaka terhadap raja. “Agama” yang dimaksud adalah agama islam. “Agama” sangat dijunjung tinggi, bahkan raja pun berpedoman pada ajaran-ajaran islam walaupun dia berkuasa sepenuhnya dalam kerajaan. Sepertinya islamisasi telah berhasil “memasyarakat”.

Banyak sekali nasihat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Pesan-pesan itu tersirat sangat jelas saat membaca pada halaman awal. Salah satu pesannya adalah tentang bagaimana cara mengendalikan rakyat agar menjadi seorang raja yang dihormati. Cara-cara itu diibaratkan dengan “belajar naik kuda.” “Kuda” sebagai “masyarakat” dan “tali kekang” kuda sebagai alat pengendali “kuda” itu sendiri. Di sini, seorang raja harus menggunakan cara-cara yang halus dan manis dalam memegang “tali kekang.” Selanjutnya, “penunggang kuda”, yang dimaksudkan adalah “raja”, harus menunggang kuda dengan sikap hati-hati dan waspada. Jika “kuda” memberontak, “sang penunggang” harus menuruti tingkah “kuda” sambil membawanya dan menuntunnya ke jalan yang lebar. Maka secara tidak langsung, “kuda” tunduk dan terkena wibawa “sang penunggang kuda”. Cara ini disebut anyana mandra oleh Pangeran Mangkubumi.


Begitu banyak karya historiografi tradisi di Indonesia. Babad, hikayat, serat, tambo, dan lain-lain merupakan produk lokal yang tak ternilai harganya. Dalam memahami karya-karya tersebut, kita sering kesulitan dalam menemukan ciri-cirinya. Biasanya, asal-usul suatu daerah menjadi tema yang diangkat dalam penulisan sejarah tradisi. Penggambaran yang dilakukan erat kaitannya dengan mitos-mitos yang dibangun para pujangga. Walau kadang alur dan kronologi cerita tidak sistematis, kita bisa mendapatkan fakta-fakta dalam genealogi-genealogi yang diceritakan. Kehidupan dalam istana kerajaan juga sangat menonjol. Belum lagi, pesan-pesan dan nasihat-nasihat yang berbau agama juga sering dimunculkan dalam setiap karya historiografi tradisi. Jika kita telah bisa memahami ciri-ciri tersebut dengan baik, maka dapat digunakan sebagai penunjang dalam penulisan sejarah kritis.


C.C Berg, “Gambaran Jawa Pada Masa Lalu” dalam Soedjatmoko et al. (eds), Historiografi Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995.
P. Swantoro, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi, “Babad: Kitab Dongeng?”, Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Jakarta: KPG, 2002.
Sartono Kartodirdjo, “Pengantar” dalam Anthony Reid dan David Marr (eds), Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka. Indonesia dan Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti: 1983.
Taufik Abdullah, Pendahuluan: Sejarah dan Historiografi dalam Taufik Abdullah dan Abdurrachman Surjomihardjo (eds).

2 komentar:

  1. sangat membantu tulisanya..terimakasih

    BalasHapus
  2. Setelah membaca....hanya ucapan terimakasih yg bisa saya ucapkan, atas tulisan di atas....memang sebuah tulisan,gagasan dan resum yg sangat luar biasa......

    BalasHapus