Jumat, 27 Agustus 2010

LUBANG BUAYA: Dalam Perspektif Komunis, Orde Baru atau Multidimensional

Jika saya dihadapkan pada situasi yang dilematis ini, yang memang mengharuskan saya harus memilih, maka saya akan memilih sebagai seorang sejarawan yang multidimensional. Saya tidak ingin berpihak pada siapa pun juga, walaupun sejarah itu memihak, dan netral itu menurut saya tidak sepenuhnya ada.

Lubang Buaya, bagi orang yang tahu, mungkin adalah sebuah tempat yang terdengar mengerikan. Sejak peristiwa 1 Oktober 1965 itu, sudah bisa dipastikan image PKI akan lebih buruk di mata seluruh bangsa Indonesia sehingga akan muncul perasaan kebencian yang sangat mendalam terhadap PKI.

Komunis harus dihapuskan dari panggung sejarah Indonesia. Komunis adalah bahaya laten yang harus diwaspadai negara. Indonesia akan semakin damai dan tenteram tanpa adanya eksistensi komunis. Setidaknya itu adalah tujuan utama Orde baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun.

Lubang Buaya ditampilkan pemerintahan Orde Baru sebagai sebuah gambaran supaya orang-orang memiliki sebuah memori yang mendalam tentang keganasan PKI. Soeharto seakan-akan menjadi seorang pahlawan yang menumpas coup d’etat PKI dalam fotonya yang terpampang jelas di samping Lubang Buaya dengan kacamata hitamnya dalam buku-buku sekolah yang wajib dibaca oleh murid-murid sekolah. Anak-anak sekolah di brain wash dengan harapan mereka mengucap banyak terima kasih kepada Soeharto yang telah menumpas partai paling kejam di dunia, yang tak lain adalah PKI.

Dalam perspektif Orde Baru, komunis berada pada posisi yang paling disalahkan sehingga anggota rezim Orde baru harus memutar otak untuk menghapuskan segala yang berbau Marxis. Dengan diangkatnya Nugroho Notosusanto sebagai kepala museum Pusat, posisi komunis semakin tersingkir, dan heroisme Orde Baru ditempatkan pada posisi puncak. Dalam sebuah buku yang ditulis Nugroho Notosusanto bersama Oejeng Soewargana, “Rencana Pelajaran Terurai tentang Komunisme,” pemujaan kepada rezim Orde Baru sangat jelas terlihat. Bahkan, usaha penulis dalam mempengaruhi pembaca tentang betapa berbahayanya komunis bagi Indonesia, bisa langsung dibaca dalam sampulnya yang berbunyi:

“Untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan Nasional dalam menghadapi taktik-strategi komunis di dalam maupun di luar negeri, guna pengamanan Pancasila, sesuai dengan ketetapan MPRS Sidang Umum ke-IV tahun 1966”

Dari kata-kata tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa komunis adalah suatu ancaman serius bagi Indonesia. Jika ditilik ke dalam halaman-halaman di dalamnya, maka akan sering ditemukan sosok Soeharto sebagai seorang penyelamat terhadap bahaya dan ancaman komunis.

Dari sisi komunis, mungkin dia adalah pihak yang paling dirugikan. Tokoh-tokoh komunis seperti Sneevliet, Untung, Aidit, Tan Malaka, Haji Misbach, atau yang lainnya, seandainya masih hidup, mungkin mereka akan merasa sangat jengkel dan marah dengan gambaran tentang kebutralan dan konsep atheisme komunis yang ditulis Nugroho Notosusanto, yang kata Katherine McGregor disebut sebagai “sejarawan yang mengabdi” terhadap rezim Orde Baru.

Kembali ke masalah Lubang Buaya, tidak jauh dari Lubang Buaya tersebut, oleh pemerintah Orde baru dibangun sebuah monumen Pancasila Sakti untuk mengenang para Jenderal yang telah gugur dalam peristiwa 1 Oktober, yang menurut saya malah mengingatkan seseorang kepada PKI, Lubang Buaya, dan militer. Saya tidak ingin bicara lebih banyak lagi karena saya memang tidak tahu pasti sebab-musababnya dan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam menyikapi masalah peristiwa 30 September dan Lubang Buaya yang masih kontroversial tersebut, saya hanya bisa memandang dari berbagai perspektif dan bukan ingin memihak kepada siapa pun. Alasan ini diambil berdasarkan pengetahuan-pengetahuan yang saya miliki dan buku-buku yang telah saya baca yang menempatkan saya memilih menjadi sejarawan multidimensional, entah ini yang benar-benar disebut multidimensional atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar